Sarip Tambak Oso: Antara Fakta Sejarah dan Mitos

Sarip Tambak Oso: Antara Fakta Sejarah dan Mitos

fat2020/12/28 11:36:17 WIB
Makam Sarip Tambak Oso di Sidoarjo (Foto: Amir Baihaqi/detikcom)

Kisah Sarip Tambak Oso begitu populer di masyarakat khususnya dalam lakon ludruk Jawa Timur. Meski demikian, minimnya catatan sejarah membuatnya menjadi sosok yang simpang siur di antara mitos dan fakta sejarah.Budayawan Henri Nurcahyo menyebut kisah Sarip Tambak Oso selama ini masih abu-abu. Sebab hingga kini belum ada yang membuktikan bahwa sosok Sarip itu benar ada."Itu masih abu-abu antara legenda atau memang kisah nyata. Itu belum ada satu kepastian yang membuktikan betul-betul ada," ungkap Henri kepada detikcom, Senin (28/12/2020).Meski begitu, lanjut Henri, semua setting lokasi yang diceritakan dalam kisah Sarip memang ada semua. Termasuk nama Desa Tambak Oso dan makamnya."Makamnya juga ada, tapi kalau makam kan bisa dibuat-dibuat juga. Bisa jadi adanya karena kearifan lokal saja, sebagai penanda. Tapi siapa yang tahu dan selama ini pula belum ada yang membuktikannya kalau itu benar-benar makam Sarip," ujar Henri.Henri sendiri berpendapat bahwa eksistensi Sarip merupakan hasil dari rekayasa budaya yang diciptakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Tujuannya, untuk menakut-nakuti rakyat agar tak melawan waktu itu.Baca juga: Sarip Tambak Oso, Sosok Perampok dan Pembela Orang MiskinNamun rekayasa budaya itu kemudian berkembang dan menjadi budaya lisan. Akibatnya, eksistensi Sarip lebih dikenal dalam lakon ludruk dibandingkan dengan fakta sejarah yang pernah ada."Jadi eksistensi Sarip ini lebih melekat sebagai lakon ludruk daripada sebagai lakon sejarah. Terus analisa saya sebagai pribadi. Lakon itu dikonstruksi sebagai rekayasa budaya. Jadi Sarip ini tokoh rekaan Belanda untuk menakut-nakuti jangan sampai kalian melawan jika tak ingin bernasib sama dengan Sarip," terangnya."Rekayasa budaya artinya bagaimana kita menciptakan legenda-legenda dari orang-orang yang melawan kekuasaan tapi dia akhirnya akan mati," imbuh Henri.Ia kemudian memberikan contoh kisah Sarip Tambak Oso dengan berbagai cerita yang ada diberbagai daerah yang mempunyai kesamaan. Di antaranya Si Pitung dan Sakera."Sama semua seperti Pitung, Sakera, Sarip itu kan melawan kompeni Belanda dan berakhir mati juga semua. Selalu begitu, ini memang rekayasa Belanda dan sebagai warning," tandas Henri.Lihat juga video 'Urban Legend: Menara Saidah dan Rumor Gedung Berhantu':[Gambas:Video 20detik] Berbeda dengan Henri, Lambertus Hurek, pegiat seni dan budaya Sidoarjo menegaskan bahwa Sarip belum bisa dikatakan sebagai sosok rekayasa. Sebab menurutnya, ada banyak versi yang berkembang di masyarakat. Hurek kemudian merujuk pada temuan sebuah kliping koran terbitan di Negeri Belanda. Dalam koran itu, Sarip diberitakan mati ditembak pada tahun 1912."Sarip itu ada versi mitos, legenda, dan sejarah. Koran Belanda pernah nulis Sarip ditembak 1912," tutur Hurek.Adapun surat kabar Belanda yang dimaksud adalah koran Het Vaderland. Koran yang memberitakan Sarip itu tertanggal 4 Maret 1912. Saat itu, diberitakan bahwa Sarip yang dilabeli perampok oleh pemerintah kolonial ditangkap dan ditembak mati.Menurut koran itu, oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, jenazah Sarip usai terbunuh kemudian dibawa ke Sidoarjo Kota untuk diperlihatkan kepada bupati. Sarip kemudian dimakamkan di pemakaman Islam Kwadengan, Lemahputro.Baca juga: Mengenal Sarip Tambak Oso, Si Pitung dari Jawa TimurSenada dengan Hurek, pegiat sejarah Boni Suwandi menyebut tokoh Sarip Tambak Oso memang hidup di antara mitos dan fakta sejarah. Namun ia berkeyakinan bahwa tokoh Sarip memang pernah ada.Itu didasarkan pada temuan sejumlah dokumentasi kliping koran pada masa Hindia Belanda yang disinggung Hurek. Dari dokumentasi kliping itu, ia kemudian menerjemahkannya dan merujuk pada sosok Sarip Tambak Oso.Apalagi, lanjut Boni, kakeknya juga sempat bercerita bahwa Sarip itu memang ada. Kakeknya bahkan mengaku berteman dengan sosok Sarip saat masih muda dahulu."Itu saya dapat tapi website delpher.nl yang berisi kliping-kliping koran Belanda. Saya terjemahkan dari google translate tapi saya sunting-sunting sedikit. Itu kan sebenarnya saya nemu artikel gak satu. Jadi ada beberapa ya kayaknya sih menuju satu orang yang bernama Sarip itu," tutur Boni."Jadi kalau menurutku sih ada. Karena mbah saya sendiri pernah ngomong memang ada dan (Sarip Tambak Oso) temannya. Kebetulan kan rumah saya kan dekat Tambakoso dekat Sedati sini," imbuh Boni.Keyakinan bahwa Sarip itu merupakan fakta sejarah juga dibenarkan oleh Gatot Hartoyo, budayan dan pemerhati sejarah Sidoarjo. Ia bahkan sempat mewawancarai dua orang yang sezaman dengan Sarip Tambak Oso.Wawancara itu, ia lakukan pada tahun 1970. Dari wawancara itu, Gatot kemudian mencatatnya dan dimasukkan di dalam bukunya berjudul 'Kembang Setaman' yang juga mengisahkan bab Sarip Tambak Oso."Mbah Sukur bercerita bahwa saat beliau umur 13 tahun sering melihat Cak Sarip ngopi di warung Bu Legi. Sarip sosok yang tenang dan nyungkani (disegani). Pendiam, berwibawa. Usia Sarip diperkirakan 35 tahun," kata Gatot.Adapun yang kedua, lanjut Gatot, ia sempat wawancara dengan Mbah Bukari. Menurut Gatot, berbeda dengan Mbah Suku, Mbah Bukari ini tidak hidup sezaman dengan Sarip. Namun ia mengaku sempat mendapat cerita soal Sarip saat dieksekusi melalui ibunya."Ibunya Mbah Bukari semasa masih remaja pernah melihat sendiri secara sembunyi-sembunyi dengan beberapa kawannya, bagaimana jasad Sarip diseret dari jalan kampung menuju makam Kwadengan," tukas Gatot.Baca juga: Sarip dari Tambak Oso"Pada saat kejadian itu semua warga Kwadengan tidak ada yang berani keluar rumah dan semua pintu ditutup dan dikunci. Demikian penuturan Mbah Bukari," jelas Gatot.Detikcom kemudian mendatangi lokasi pemakamam Kwadengan. Kartono (62), juru kunci pemakaman membenarkan bahwa di area pemakaman yang dijaganya ada makam Sarip. Ia menuturkan, makam Sarip sendiri ada di dua tempat lagi.Menurut Kartono, banyaknya makam Sarip, karena usai terbunuh, Sarip diyakini dimutilasi menjadi tiga bagian. Ketiga makam itu kini ada di Kwadengan, di Kota Sidoarjo belakang Masjid Agung Sidoarjo dan di Desa Tambakoso, Waru."Kalau di sini (Kwadengan) makam kepalanya. Kalau satunya lagi di pekuburan belakang Masjid Agung dan satunya lagi di Tambak Oso," tandas Kartono.

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya