Cerita Wisata ke Pangandaran dengan Kereta yang Belum Sempurna

Cerita Wisata ke Pangandaran dengan Kereta yang Belum Sempurna

iqk2025/04/07 07:00:58 WIB
Eks Jembatan Kereta Api Cikacepit Pangandaran (Foto: Faizal Amiruddin)

Pesisir laut Pangandaran menjadi daerah tujuan wisata hingga kini. Dahulu kala, ketika pembangunan Kereta Api jalur Banjar-Cijulang (dimulai pada 18 Juli 1911) tengah berlangsung, geliat masyarakat untuk berkunjung ke pantai Pangandaran sudah muncul.Wisata dilakukan dengan memanfaatkan kereta, meski sebagian ruas rel masih dalam tahap pembangunan. Masyarakat memanfaatkan kereta penumpang bahkan rela menumpang kereta gerobak pasir, demi bisa sampai ke bibir laut selatan Jawa itu.Baca juga: Memori Kejayaan Stasiun Pangandaran yang Kini Mirip Rumah HantuDi antara pengalaman naik kereta api ke Pangandaran itu adalah yang dituliskan oleh wartawan sekaligus sastrawan, Syarif Amin atau Moehammad Koerdie (1907-1991). Dalam sastra biografis berjudul "Manéhna" (terbit pertama 1965, diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama, edisi ketiga tahun 2020), Syarif Amin mengisahkan perjalanan 'kuring' (aku) dan 'manéhna' (si dia) ke Pangandaran dengan kereta api.Dalam perjalanan itu, 'kuring' kepada 'manéhna' berkisah tentang pengalaman masa kecilnya, ketika pertama kali pergi ke Pangandaran, menumpang kereta yang jalurnya belum tuntas dibangun dan layanannya belum dibuka seutuhnya.Jika kenangan 'kuring' itu direkonstruksi, disebutkan jalur kereta dari Banjar yang baru selesai hanya sampai ke Kalipucang. Perjalanan ini mungkin dialami tokoh 'kuring' setelah tahun 1916.Menurut data detikJabar (2022) merujuk penelitian BRIN, diketahui dalam tahapan pembukaan operasional KA Banjar-Cijulang dilakukan beberapa tahap.Yang pertama Banjar-Kalipucang sejauh 43,19 Km pada 15 Desember 1916, Kalipucang-Parigi 34,38 Km pada 1 Januari 1921, Parigi-Cijulang 4,38 Km pada 1 Juni 1921.Kini, kereta api ke Pangandaran sudah tidak beroperasi. Stasiun Pangandaran juga terbengkalai, meski nama Pangandaran diabadikan menjadi nama sebuah kereta, KA Pangandaran rute Gambir-Banjar.Lokomotif Kecil Dibanding Si GombarKereta api yang ditumpangi 'kuring' pada masa kecil adalah rute Banjar-Kalipucang. Kereta itu berbayar. Namun, dari Kalipucang, kereta tumpangan bersifat gratis. Sebab, menurutnya itu tidak pas disebut kereta api, melainkan gerobak pasir.Jika kereta api ditarik oleh lokomotif hitam legam berjuluk 'Si Gombar', yang di sekitar Banjar justru dikenal dengan sebutan 'Si Kongkong', gerobak pasir justru didorong lokomotif.Ukuran lokomotif pendorong dua gandengan gerobak pasir itu lebih kecil ukurannya dari ukuran Si Gombar. Lokomotif kecil itu juga punya cerobong asap yang amat besar, tidak seimbang dengan ukuran lokomotif."Awakna leutik, ari songsong leuwih gedé ti sééng tambaga anu pangedéna, leuwih jangkung malah!" (hal. 22)Melintasi Jembatan Belum Tuntas di Atas JurangDari Kalipucang, perjalanan ke Pangandaran harus diteruskan dengan menumpang kereta pengangkut pasir. Namun, seringkali kereta harus melintasi terowongan dan jembatan-jembatan yang belum tuntas di atas jurang.Pengalaman menumpang kereta melintasi jembatan yang belum tuntas ini sangat mendebarkan. Dan jika jembatan benar-benar terlampau mengerikan untuk dilintasi, penumpang lebih baik menuruni jurang dan naik kembali pada tebing di sebrangnya.Kereta pengangkut pasir juga tidak bisa melintasi jembatan itu. Kereta tinggal di belakang. Tetapi, di sebrang jembatan, sudah ada kereta pasir lain untuk ditumpangi."Malah aya jambatan nu harita henteu bisa disorang ku karéta téh. Atuh kapaksa saréréa kudu turun, leumpang mapay papan titincakan. Ku lewang-lewangna, sawaréh mah réa nu kajeun turun kana jungkrang, kukurubutan ka nu bala, ti batan mapay jambatan rangkay kénéh mah." (hal. 22)Usai melintasi jurang, para penumpang kembali naik ke atas kereta pasir yang baru. Ada yang harus diangkat di atas pundak supaya bisa naik kereta, atau oleh orang yang telah ada di atas kereta diuluri tangan untuk memudahkan naik.Bunga Api yang Membakar SanggulKereta melaju melintasi pinggiran gunung, terkadang menembus gunung. Ada terowongan yang harus ditembus yang pada saat tersebut, boleh dipastikan pakaian bahkan sanggul pada rambut terkena bunga api yang terbang dari lokomotif tenaga uap bercerobong tinggi itu.Lokomotif memang tetap berada di belakang, mendorong gerobak pasir. Boleh jadi, karena cerobongnya yang tinggi, asap dari tungku lokomotif tidak terbuang bebas ke udara karena sedang berada di dalam terowongan. Akhirnya, bunga api tak terelakkan mengenai penumpang. Para penumpang sibuk mengibaskan tangan ke bagian yang terkena titik api itu."Reup deui angkeub nepi ka poék mongkléng nyorang torowongan anu panjang. Mulek haseup karéta nu gebas-gebos kawas kuda bebengés, ngabura-burakeun silalatu. Atuh anu tarumpak téh pakupis narepakan seuneu anu eunteup kana baju, kana iket. Nu kana gelung malah! Kaambeu hangit!" (hal. 22)Pemandangan Teramat IndahMenembus terowongan panjang yang gelap gulita dengan laju kereta yang lambat, sejatinya adalah harga yang harus dibayar untuk pemandangan teramat indah di depan.Cahaya di ujung terowongan sekaligus membuka pemandangan laut selatan yang indah. Warna biru air laut bertemu dengan putihnya langit, seperti di dalam gambar.Dari kejauhan sudah indah, semakin dekat kereta ke arah pantai, semakin tampak keindahan lain. Karang-karang yang tabah beradu kuat dengan ombak yang lincah. Siang-malam keduanya bertarung.Sayang, perjalanan kereta pengangkut pasir ini harus selesai di Putrapinggan. Masih jauh ke bibir pantai. Dari perhentian kereta pasir, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki."Ti Putrapinggan mah badarat baé nepi ka Pangandaran. Duka sabaraha pal, da capé." (hal.23)Baca juga: Mengenang Kejayaan Toko Buku Legendaris di PangandaranTentang Syarif AminSyarif Amin atau Moehammad Koerdie (1907-1991) adalah tokoh perintis pers di Indonesia. Dia memulai karier sebagai wartawan pada tahun 1929 di surat kabar Sipatahoenan. Tahun 1938, dia terpilih sebagai pemimpin redaksi surat kabar itu.Kariernya di dunia jurnalistik terus berlanjut melintasi zaman. Pada zaman Jepang, Syarif Amin jadi bagian dari redaktur koran Tjahaya, dia juga mendirikan Soeara Merdeka dan Indonesia, meski akhirnya kembali lagi memimpin Sipatahoenan. Setelah 1970-an, Pak Kurdi, sapaan Syarif Amin, memimpin PT Balé Bandung dan jadi redaktur majalah Prima.

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya