Ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng tidak bisa membaca dengan lancar. Padahal, kemampuan membaca seharusnya sudah tuntas sejak sekolah dasar (SD).Wakil Bupati (Wabup) Buleleng Gede Supriatna mendorong Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) dan Dewan Pendidikan Buleleng untuk bersinergi menangani persoalan tersebut. Ia pun menyarankan agar penggunaan handphone (HP) di lingkungan sekolah dibatasi."Karena ada temuan anak yang tidak bisa menulis, tapi lancar mengetik di HP atau lancar bermedia sosial. Kami tidak menampik adanya teknologi, tapi ini dilakukan agar anak bisa berkonsentrasi dalam menempuh pendidikan," ujar Supriatna dalam keterangan tertulis yang diterima detikBali, Senin (14/4/2025).Baca juga: Disdikpora Minta Sekolah Siapkan Jam Khusus bagi Siswa yang Belum Bisa MembacaSupriatna juga menyoroti kurangnya motivasi diri serta keluarga siswa. Dia menjelaskan pendidikan tidak bisa hanya diserahkan kepada guru di sekolah. Menurutnya, orang tua juga harus mendampingi agar perkembangan intelektual anak.Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana mengungkapkan fenomena itu menunjukkan rendahnya literasi siswa. Ia menyarankan agar Disdikpora melakukan pemetaan untuk memastikan kebutuhan masing-masing siswa."Apakah berkebutuhan khusus atau bagaimana. Selain itu, pola mengajar guru juga harus dicermati, apakah sistem administrasi menyebabkan guru sibuk dan abai dalam melakukan pengajaran," ujar Sedana.Sementara itu, Plt Kepala Disdikpora Buleleng Putu Ariadi Pribadi mengungkapkan jumlah siswa SMP di daerah itu mencapai 34.062 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 155 siswa masuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori tidak lancar membaca (TLM).Ariadi membeberkan beberapa penyebab siswa tidak lancar membaca. Antara lain kurangnya motivasi, pembelajaran tidak tuntas, disleksia, disabilitas, dan kurangnya dukungan keluarga.Baca juga: Berbagai Upaya Atasi Ratusan Siswa SMP di Buleleng yang Tak Lancar MembacaAdapun faktor eksternal lainnya yakni efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang SD, pemahaman keliru tentang kurikulum, kekhawatiran tenaga pendidik terhadap ancaman hukum dan stigma sosial, hingga faktor keluarga yang menyebabkan psikologis siswa terganggu."Misalnya siswa memiliki trauma di masa kecil akibat kekerasan rumah tangga, perceraian, atau kehilangan anggota keluarga. Atau korban perundungan," kata Ariadi.